"Janganlah kebencian sesuatu kaum mendorong kamu bertindak tidak adil. Berlakulah adil; itu lebih dekat kepada takwa.”

(Al-Maidah ayat 8).

Minggu, 02 Maret 2014

SEMARANG, suaramerdeka.com - Jemaat Ahmadiyah telah ada di Indonesia sejak 1925 bersamaan dengan berdirinya Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama. Dalam usianya yang ke-89, keberadaan Ahmadiyah justru selalu digugat keberadaannya oleh masyarakat Indonesia. Meski ajaran Jemaat Ahmadiyah berasal dari Hazrat Mirza Ghulam Ahmad Qadiani, komunitas ini dahulu diakui oleh Presiden Soekarno atas perannya dalam pertumbuhan kehidupan beragama perjuangan kemerdekaan.
Menurut Dosen Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Dr Munawar Ahmad, kehadiran Ahmadiyah juga telah memberi peran yang signifikan terhadap modernisasi pemikiran keagamaan dan mendorong lahirnya gerakan anti kolonial berdasar pada persamaan hak dan kesetaraan tanpa melakukan resistensi politik yang terbuka.
"Periode 1950-an merupakan periode pahit bagi Ahmadiyah di Jawa Barat. Pada 1953 pun pemerintah mengesahkan Ahmadiyah sebagai badan hukum. Tapi, pada 2008, dikeluarkan SKB yang meminta menghentikan kegiatannya. Penyerbuan kepada Ahmadiyah pun terjadi di mana-mana," ujar Munawar saat Pisah Sambut Mubaligh Wilayah Jateng-Timur dan bedah buku Candy's Bowl (Politik Kerukunan Umat Beragama) di Indonesia karyanya di Masjid Jemaat Ahmadiyah Jalan Erlangga Raya.
Untuk mengurai bagaimana politik kerukunan beragama terjadi, Munawar pun memunculkan konsep candy's bowl atau tempat permen sebagai imajinasi dari bentuk sosial yang berupaya menampung warna, rasa, tampilan dari keunikan yang dimiliki masyarakat.
Meski warna, rasa, dan tampilan masing-masing elemen itu mencolok, kata Munawar, tiap elemen itu tidak saling mengubah warna, rasa maupun tampilan. Melainkan mereka di dalam wadah permen tersebut saling menguatkan satu sama lain secara utuh sebagai masyarakat yang bhinneka.
"Politik kerukunan Candy's Bowl menjadi alternatif pengelolaan kerukunan ala Indonesia. Belajar dari kasus Jemaat Ahmadiyah Indonesia, para pengamat dan penggerak kerukunan dunia dapat belajar sebuah geneologi lahirnya singular violence, collective violence, hingga menjadi structural violence sebagai mekanisme ketidakadilan terhadap bentuk sosial yang intimidatif. Dalam situasi tersebut, politik memegang kendali untuk mampu melakukan balancing agar dinamisasi sosial kembali normal," paparnya.

Sementara itu menurut Direktur Lembaga Studi Sosial dan Agama (eLSA) Tedi Kholiludin, membicarakan tentang Ahmadiyah selama ini selalu dikaitkan dengan konflik, bunuh, sesat, dan kafir, bukan pada masalah teologi. Selalu saja ada upaya menghilangkan Ahmadiyah dari peta sejarah di Indonesia.
"Tiga tahun terakhir ini ada empat kasus pembatasan terhadap hak bebas beragama yang berkaitan dengan Ahmadiyah di Jawa Tengah yang kami pantau. Pembatasan itu merupakan upaya dari golongan lain yang tidak menginginkan keberadaan Ahmadiyah. Tapi, di Jateng bisa eksis di tengah masyarakat yang plural," katanya.
Usai bedah buku setebal 350 halaman, mubaligh Ahmadiyah Jateng Timur Syaiful Uyun pun berpamitan kepada jamaah Ahmadiyah serta beberapa lembaga yang hadir, karena pindah tugas di wilayah Tasikmalaya, Jawa Barat.
Mubaligh Ahmadiyah Jateng-Timur yang baru, Asep Jamaludin pun berharap apa yang telah dilakukan selama menjadi mubaligh di Priangan Timur Jawa Barat dalam membangun hubungan yang baik dengan ormas, pondok pesantren dan masyarakat juga dapat terwujud di Jawa Tengah.
( Muhammad Syukron / CN38 / SMNetwork )
Sumber: http://www.suaramerdeka.com/v1/index.php/read/news_smg/2014/02/23/192103/Candys-Bowl-Jadi-Alternatif-Pengelolaan-Kerukunan-Beragama

Diteruskan oleh:

0 komentar:

Posting Komentar