"Janganlah kebencian sesuatu kaum mendorong kamu bertindak tidak adil. Berlakulah adil; itu lebih dekat kepada takwa.”

(Al-Maidah ayat 8).

Rabu, 21 Agustus 2013

Jemaat Ahmadiyah Adakan Upacara Bendera HUT RI ke 68 di Pengungsian Asrama Transito Lombok NTB, Tempo/DW



Inilah Lima Tokoh yang Merekatkan Indonesia
TEMPO.CO, Jakarta - Tujuh tahun sudah keluarga Sahidin dan 31 keluarga penganut Ahmadiyah lainnya mengungsi di Wisma Transito karena rumah mereka diserbu saudara muslimnya pada Februari 2006.

Dua anak Sahidin: Maryam Nur Sidikah, 6 tahun, dan adiknya Muhammad Khotaman Nabiyyin, terus merengek minta pulang. Mereka dan 22 anak lainnya harus lahir di pengungsian.

"Ayah, kapan kita pulang ke rumah sendiri?" Maryam suatu kali bertanya kepada Sahidin. Sahidin, koordinator pengungsi Ahmadiyah di Wisma Transito Majeluk, Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat, hanya termangu mendengar pertanyaan anaknya.

Kekerasan terhadap jemaah Ahmadiyah di Mataram hanya satu serpihan dari pecahan kaca bernama toleransi di negeri ini. Hasil riset Lingkaran Survei Indonesia-Yayasan Denny J.A. menunjukkan, sejak 1998 hingga 2012, terjadi hampir 2.400 kasus kekerasan diskriminasi—kebanyakan berbasis agama. Jika dirata-rata, tiap tahun ada 160 konflik. Atau, tiap 2-3 hari muncul satu konflik berlatar belakang suku, agama, ras, dan antargolongan.

Nyaris tak ada solusi pada sebagian besar konflik itu. Jika ada, sekarang Sahidin tidak tinggal di pengungsian. Hukum juga tak bertaji terhadap mereka yang bersalah. Lihat saja, para penyerang jemaah Ahmadiyah di Cikeusik, Banten, yang menewaskan tiga anggota jemaah, hanya divonis 3-6 bulan bui. Akibatnya, kekerasan berbasis SARA mendapatkan kesempatan untuk tumbuh subur.

“Kemajemukan berbasis suku, agama, ras, dan antargolongan sekarang paling mudah menyulut emosi masyarakat,” Otto Nur Abdullah, anggota Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, mengingatkan. Statistik mendukung Otto. Mengutip laporan Setara Institute dan Wahid Institute, kasus kekerasan berbasis agama meningkat sekitar 30 persen sejak 2009 hingga pertengahan 2013.

Namun kita beruntung karena di negeri ini masih ada warga negara yang tak kenal lelah bergiat merajut perdamaian, hak asasi, dan kebebasan beragama. Mereka ini pantas dibanggakan. Berbekal keyakinan tersebut, Koran Tempo mempersembahkan edisi khusus Hari Ulang Tahun Kemerdekaan 2013 bagi Para Perekat Republik.

Ada lima tokoh dan satu organisasi yang ditahbiskan sebagai para perekat Republik. Mereka adalah (1) Lian Gogali, penggerak pembauran di Poso, tempat di mana sayur-mayur dan buah-buahan pernah beragama. Lian menyatukan ibu-ibu Islam, Kristen, dan Hindu di Sekolah Perempuan Mosintuwu sejak tiga tahun lalu hingga sekarang. Tujuannya adalah mencegah konflik berkepanjangan di kabupaten di Sulawesi Tengah.

(2) Sofyan Tan di Medan. Pengalaman buruk ditolak masuk universitas negeri karena bermata sipit membuat dia mendirikan sekolah multi-etnis.

(3) Kami juga memilih Kholiq Arif, Bupati Wonosobo, yang juga menjadi tokoh “Bukan Bupati Biasa” versi majalah Tempo. Meskipun Kholiq bukan nama baru di media massa, kami menilai kiprahnya, yang sempat dianggap sesat karena melindungi penganut Ahmadiyah dan Syiah, menjadi antitesis dari para kepala daerah yang tak berbuat apa pun.

(4) Dari Bali, kami memilih Anak Agung Ngurah Agung. Pengagum Abdurrahman Wahid ini berusaha memulihkan keretakan hubungan umat Hindu-Islam pasca-bom Bali. Rumahnya di Puri Gerenceng-Pemecutan, Jalan Diponegoro, Denpasar, kerap dipenuhi umat Islam yang khusyuk mendaras doa dan puji-pujian kepada Nabi Muhammad SAW.

(5) Ada juga Tuan Guru Subki Sasaki yang mendobrak arus utama kaum konservatif di Lombok. Ia merupakan penyokong utama keragaman di wilayah itu.

(6) Terakhir, ada Forum Silaturahmi Anak Bangsa. Organisasi unik ini mendekatkan anak-anak dari mereka yang semula berseteru satu generasi yang lalu. Ada putri Pahlawan Revolusi Jenderal Ahmad Yani, bergandengan tangan dengan putra S.M. Kartosuwirjo dan D.N. Aidit.

Merekalah para perawat toleransi di republik ini, setelah negara absen memenuhi kewajibannya dalam merawat keberagaman. Bukan toleransi yang dibatasi sekadar untuk menghindari konflik, melainkan dengan cinta yang tak berbatas terhadap kemanusiaan. Pembaca, inilah mereka, para perekat “kaca-kaca” yang terserpih di republik ini.

Tim Tempo
http://www.tempo.co/read/news/2013/08/20/078505787/Inilah-Lima-Tokoh-yang-Merekatkan-Indonesia

Begini Cara Lima Tokoh Perekat Republik Dipilih
TEMPO.CO, Jakarta - Edisi Khusus Hari Kemerdekaan Koran Tempo disiapkan sejak pertengahan Juni 2013 lalu. Redaksi memulai dengan penyusunan kriteria para calon, sehingga kandidat bisa disaring sejak dini.

Ada lima kriteria utama yang ditetapkan redaksi. Tempat pertama diberikan kepada para pegiat perdamaian yang tak sekadar bermain pada tataran wacana, tapi sudah memiliki kontribusi nyata untuk merekatkan pluralitas. Mereka yang mengabdi di daerah konflik diprioritaskan.

Untuk itu, Ismail Hasani, Manajer Program Setara Institute, dan Ahmad Suaedy, salah satu inisiator The Wahid Institute, diundang redaksi Tempo sebagai mitra diskusi.

Seleksi tahap pertama mendapatkan hampir 20 nama. Banyak di antara nama itu belum cukup dikenal, tapi berandil besar membangun toleransi di daerahnya. Karena itu,  nama-nama tersebut kembali disaring dengan mempertimbangkan faktor ekspose media massa dan konsistensi.

Sejumlah nama tereliminasi. Sebutlah Ajun Komisaris Besar Yoyoh Indayah, Wakil Direktur Bimbingan Masyarakat Kepolisian Daerah Jawa Barat. Ketika menjabat Kepala Kepolisian Resor Kuningan, Jawa Barat, Yoyoh berhasil menangkal amuk massa terhadap penganut Ahmadiyah. Caranya pun unik. Ia menggalang para ibu untuk membuat pagar betis pelindung jemaah Ahmadiyah.

Yoyoh menjadi antitesis Kepolisian yang sejauh ini cenderung mendukung —-atau setidaknya membiarkan—- aksi kekerasan berbasis SARA. Sayangnya, setelah ia menjadi Wakil Direktur Bimbingan Masyarakat Polda Jawa Barat,  aksi-aksi cerdiknya dalam melindungi minoritas di Provinsi Jawa Barat berkurang. Padahal provinsi ini berada di urutan pertama dalam jumlah kasus kekerasan berbasis agama.

Ada juga Heidy Maeka, 35 tahun. Perempuan Kristen ini telah menjadi aktivis perdamaian di Poso sejak masih kuliah. Ia naik sepeda motor bolak-balik Pamona-Poso Kota untuk menjalin komunikasi dengan para pemuda muslim, melalui jalan yang naik-turun bukit. Kalau malam, penerangan seadanya.

Tapi Heidy kini sudah tak banyak bergiat dalam merajut perdamaian. Ia terakhir kali mendampingi keluarga terduga teroris korban penembakan pada 2012.

Selesai seleksi tahap kedua, jumlah kandidat sudah bisa dihitung dengan jari. Tapi ini baru separuh kerja. Saatnya untuk memverifikasi para calon di kandangnya. Selain melihat langsung karya mereka, Tempo mewawancarai para tokoh masyarakat, lembaga swadaya masyarakat lokal, dan mereka yang merasakan manfaat dari kerja para tokoh itu. Hasil verifikasi ini dibawa kembali ke ruang redaksi dan diperdebatkan lagi.


Akhirnya terpilihlah lima tokoh dan satu organisasi yang ditahbiskan sebagai para perekat Republik. Mereka adalah :
(1) Lian Gogali, penggerak pembauran di Poso.

(2) Sofyan Tan di Medan, pendiri sekolah multi-etnis.

(3) Kholiq Arif, Bupati Wonosobo, pelindung penganut Ahmadiyah dan Syiah di wilayahnya.  

(4) Anak Agung Ngurah Agung, tokoh yang andil memulihkan keretakan hubungan umat Hindu-Islam pasca-bom Bali.

(5) Tuan Guru Subki Sasaki yang mendobrak arus utama kaum konservatif di Lombok.

(6) Forum Silaturahmi Anak Bangsa, kumpulan anak-anak dari mereka yang dulu berseteru: mulai anak PKI, DI/TII sampai anak TNI berkumpul di sini.

Tim Tempo
http://www.tempo.co/read/news/2013/08/20/058505821/Begini-Cara-Lima-Tokoh-Perekat-Republik-DipilihAkhirnya terpilihlah lima tokoh dan satu organisasi yang ditahbiskan sebagai para perekat Republik.


0 komentar:

Posting Komentar