"Janganlah kebencian sesuatu kaum mendorong kamu bertindak tidak adil. Berlakulah adil; itu lebih dekat kepada takwa.”

(Al-Maidah ayat 8).

Selasa, 11 Desember 2012

Selasa, 11 Desember 2012 | 14:20 WIB 6.000 Warga Ahmadiyah Hidup Tenang di Wonosobo Besar Kecil Normal TEMPO.CO, Jakarta - Gesekan antar-umat beragama rawan terjadi di sejumlah wilayah di Tanah Air. Di Nusa Tenggara Barat dan Bogor, misalnya, sejumlah penganut Ahmadiyah diusir dari wilayah mereka. Begitu pula yang terjadi di Sampang, Madura, ketika penganut Sunni mengusir warga Syiah. Namun di Wonosobo, Jawa Tengah, masyarakat yang memeluk berbagai macam keyakinan bisa hidup berdampingan. Bupati Wonosobo, Abdul Kholiq Arif, menyilakan semua umat beragama untuk melakukan ibadah menurut keyakinannya. “Nabi saja menghormati kaum Yahudi. Saya pun harus berperilaku sewajarnya terhadap umat yang tak seiman,” kata Bupati Kholiq yang terpilih menjadi kepala daerah pilihan Tempo tahun 2012. Menurut dia, sebagai warga negara, kelompok minoritas sama-sama membayar pajak. Karena itu, ia menegaskan pemerintah bertanggung jawab dalam memberikan rasa aman bagi semua warga pada saat mereka beribadah, tak terkecuali penganut Ahmadiyah. Di Wonosobo, kota yang membentang di lereng Gunung Sumbing dan Gunung Sindoro, terdapat setidaknya 6.000 penganut Ahmadiyah. Mubaligh jemaah Ahmadiyah, Sajid Ahmad Sutikno, mengatakan ketegasan Bupati membuat mereka aman. “Kami tidak punya masalah di sini,” kata dia. Begitu pula dengan penganut Konghucu, Tao, dan Buddha. Mereka merayakan hari besar agama tanpa rasa takut. Selain memberikan rasa aman pada saat menjalankan ibadah, pemerintah kabupaten memudahkan umat beragama yang hendak mendirikan tempat ibadah. Tentunya dengan melibatkan Forum Kerukunan Umat Beragama, wadah dialog antar-iman kota itu. Warga suku Tionghoa, Imam Darmadi, mengatakan, toleransi beragama di kotanya tinggi. “Sejumlah kiai dan habib kerap menghadiri undangan kami di kelenteng ini,” kata Imam. Membangun kerukunan antar-umat beragama tentu bukan pekerjaan mudah. Bupati Kholiq menceritakan selama awal kepemimpinannya di 2004, berbagai masalah sosial muncul ke permukaan. Mulai dari tawuran antar-kampung, kerusuhan, hingga angka kriminalitas cukup tinggi pada hingga 2010. Pada periode ini, kebakaran hebat juga menghanguskan pasar induk Wonosobo. Pencuri dibakar, perkelahian terjadi, lalu toko-toko tutup lebih awal. Untuk mengatasi persoalan kemanan ini, Sang Bupati merangkul para preman. “Mereka tidak boleh dibuang, kecuali melanggar hak orang lain,” ujarnya. Kholiq punya cara unik. Ia melibatkan para preman dalam kegiatan keagaman juga tradisi macapatan-tembang tradisional Jawa. Ia juga menggandeng Komando Distrik Militer untuk memberikan terapi kepada para jawara itu.

0 komentar:

Posting Komentar