"Janganlah kebencian sesuatu kaum mendorong kamu bertindak tidak adil. Berlakulah adil; itu lebih dekat kepada takwa.”

(Al-Maidah ayat 8).

Jumat, 16 Januari 2015

“Saya tidak mau bubarkan Ahmadiyah!” di depan peserta Konferensi Nasional Hak Kebebasan Beragama/Berkeyakinan di Kuningan Royal Hotel (3/6/2014) Bupati Wonosobo Drs. H. Abdul Kholiq Arif, M. Si. mengisahkan kembali sikap dan pendiriannya ketika Menteri Agama Suryadharma Ali memanggilnya ke Jakarta beberapa hari setelah dirinya tampil dalam talkshow di sebuah televisi swasta. Di program acara televisi itu bupati yang mengaku sebagai santrinya Gus Dur ini mengemukakan pandangannya bahwa Ahmadiyah mempunyai hak yang sama dan harus diberikan ruang yang setara dengan pemeluk Islam dan agama atau keyakinan lainnya di Wonosobo.
Kisah ini ia sampaikan menjawab pertanyaan peserta konferensi Pdt. Erde Brutu yang mewakili 16 gereja di Aceh Singkil yang ditutup paksa oleh pemerintah. Erde Brutu yang gerejanya disegel dan kerap mendapat ancaman serangan menanyakan kepada sang bupati yang muslim ini, “Apakah pemimpin daerah yang beragama Islam memberi bantuan kepada gereja itu kafir? Di daerah kami Aceh Singkil yang penduduknya 15% Kristen, tidak pernah gereja mendapat bantuan. Pernah sekali saja pemimpin daerah menyumbang pembangunan sebuah gereja yang mau roboh 30 juta. Setelah itu tidak ada lagi karena dia dikecam dan dianggap kafir.”
Sebelum peraih penghargaan “Tokoh Tempo 2012 Bukan Bupati Biasa” ini menyampaikan kisah di atas, Kholiq Arif memberikan jawaban yang tegas dan bernas, “Justru seorang pemimpin yang tidak memfasilitasi minoritas, itu tidak adil dan kufur.”
Baginya semua warga yang sama-sama membayar pajak harus difasilitasi negara. Parktik seperti ini ia teladani dari Nabi Muhammad yang tidak berlaku diskriminatif terhadap penduduk non-muslim yang ada di Madinah. Keteguhan prinsip yang ia kembangkan mengacu pada tuntunan agama yang memerintahkan seorang pemimpin untuk berlaku adil. “Karena mereka semua membayar pajak, maka harus difasilitasi. Sampai kuburan Kristen harus kami fasilitasi,” ia menambahkan rencana pembangunan area kuburan Kristen atau Katolik di samping “bong Cina,” tempat pemakaman etnis Cina.
Hal itulah yang mendorong komitmen mantan wartawan Jawa Pos ini untuk membangun harmonisasi keberagaman agama dan memberikan ruang yang setara kepada semua kelompok minoritas di Wonosobo. “Di daerah kami sudah menjadi kebiasaan bagi Banser untuk mengawal ibadah Paskah dan Natal. Sebaliknya, pemuda-pemuda Kristen dan Katolik menciptakan kenyamanan umat Islam yang menunaikan salat Idul Fitri di antaranya dengan berjaga dan menyediakan palstik-plastik hitam untuk menyelamatkan sandal dan sepatu.”
Selain Kristen, Katolik, Budha, Hindu, dan Konghucu, di Wonosobo juga beragam aliran dalam Islam hidup harmonis. Selain NU yang mayoritas, Muhammadiyah juga banyak. Ahmadiyah ada 6000; Syiah 250 dengan ragamnya masing-masing. Ada juga Aboge, Alif Rebo Wage, yang kalender puasanya tidak pernah mengikuti pemerintah, dan kelompok-kelompok Salafi, dan sebagainya. Demikian Kholiq Arif deskripsikan keberagaman di wilayahnya.
Selama ini prinsip menghidupkan harmoni melalui upaya-upaya memfasilitasi lintas agama dan keyakinan di Wonosobo didukung langkah-langkah nyata bupati – yang pada bulan lalu (23/5/2014) diganjar “Penghargaan Pluralisme” sebagai pemimpin daerah penegak kebebasan beragama dan berkeyakinan oleh Jaringan Antariman Indonesia (JAII) – dengan mengembangkan bentuk komunikasi harian terhadap stakeholders, terutama polisi dan tentara, yakni memfasilitasi mereka untuk menciptakan ketertiban dan keamanan di tengah perbedaan. Masyarakat juga harus dilibatkan dengan mengagendakan pertemuan lintas agama yang rutin, baik formal maupun informal. Diskusi bersama-sama penganut Sunni, Syiah, dan Ahmadiyah untuk saling memahami dan bersilaturahmi juga kerap digelar. Bersama Percik Salatiga mengembangkan pendidikan pluralisme. Kegiatan menanam pohon lintas agama dan keyakinan diselenggarakan di Bukit Maria, Kapencer, Kertek. Kemah pemuda lintas agama rutin dilakukan.
Karena itu, pantang buat sang Bupati Wonosobo membubarkan Ahmadiyah. Selain menyebutkan bahwa memperlakukan minoritas secara tidak adil adalah kekufuran, kafir, alasan lain yang ia sampaikan untuk tidak mematuhi SKB tentang Ahmadiyah, ”Pertama, sebelum saya lahir Ahmadiyah sudah ada di Wonosobo, bahkan sebelum Indonesia merdeka. Kedua, saya akan dicemooh sejarah!!!” (Thowik SEJUK).

Kepala Daerah Peduli Kaum Minoritas (1)

6 Januari 2015 4:16 WIB Category: Berita Utama, SmCetak A+ / A-
SM/Edy Purnomo LINTAS AGAMA: Bupati Wonosobo Kholiq Arief  berdialog dengan tokoh lintas agama usai menggelar pertemuan rutin di Alun-alun Wonosobo, belum lama ini. (30)
SM/Edy Purnomo
LINTAS AGAMA: Bupati Wonosobo Kholiq Arief berdialog dengan tokoh lintas agama usai menggelar pertemuan rutin di Alun-alun Wonosobo, belum lama ini. (30)
Penelitian Abdurrahman Wahid Center menyebutkan, dua kota di Jateng, yakni Wonosobo, dan Solo, menjadi kota yang ramah terhadap kaum minoritas.  Wonosobo dinyatakan sebagai kota yang toleran terhadap kaum Ahmadiyah dan sekte-sekte keagamaan. Sementara Solo sebagai kota toleran terhadap kaum disabilitas.
ADA yang berbeda, semenjak Kholiq Arief (46) menduduki menjadi jabatan penting di Pemerintahan Kabupaten Wonosobo, 14 tahun silam. Setiap Jumat, dia keliling masjid, setiap malam Senin mengunjungi warga yang sakit di rumah, dan setiap Sabtu siang ikut pengajian Kliwonan di Al Manshur.
Bersama Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Wonosobo, Kholiq mengadakan Kemah Kebangsaan diikuti para generasi muda lintas agama di lereng Gunung Sindoro, tepatnya di Desa Buntu, Kecamatan Kejajar.
Kegiatan itu digelar tak lain sebagai upaya menjaga kerukunan umat beragama.
”Selama ini, harmonisasi kerukunan umat beragama di Wonosobo sudah terbina baik. Semua elemen masyarakat perlu bersatu untuk menjaga keharmonisan dan kerukunan, meski dalam pemilu nanti politiknya berbeda-beda,” katanya.
Menurut dia, harmonisasi sosial terbangun dari komunikasi yang baik antartokoh agama. Selain FKUB, forum komunikasi pimpinan daerah selama ini efektif menjadi ruang berkoordinasi terhadap masalah-masalah timbul di tengah masyarakat.
Secara rutin dalam forum coffe morning yang digelar sebulan sekali bersama para tokoh di pendapa juga menjadi salah satu ruang untuk merekatkan berbagai komunitas maupun agama untuk memikirkan Wonosobo.
Menurutnya, jika saran itu masuk dari masyarakat secara langsung maka kebijakan yang ditempuh bisa tepat. Dia beralasan kalau penganut dari berbagai agama bersatu maka pembangunan di Wonosobo akan lebih cepat tercapai.
Menurutnya, sesuai pesan Gus Dur kepadanya, menjadi pemimpin harus senantiasa menjaga kerukunan dan kedamaian. Hal itu, secara tidak langsung akan mampu menunjukkan kepada masyarakat luas akan terjaganya harmonisasi antarumat beragama di Wonosobo.
Gesekan
Untuk menggerakkan kalangan muda lintas agama, pertunjukan barongsai menjadi salah satu kegiatan seni kerukunan karena pemainnya berasal dari Budha, Tionghoa, Kristen, dan Islam.
Untuk penganut Ahmadiyah, Syiah, dan penganut Aboge, Kholiq menjadi penjaga gawang dalam setiap ada isu miring. Bentuk perlindungannya antara lain saat Ahmadiyah di sejumlah kota besar disudutkan, dia mengundang Ahmadiyah, FKUB, dan MUI untuk duduk bareng diskusi.
Setelah itu, mendeklarasikan upaya menjaga kedamaian. Sejumlah penganut Ahmadiyah juga menjadi bagian dari pengambil kebijakan untuk komunitasnya.
Kholiq menjadi salah satu perawat toleransi di Republik ini, setelah negara absen memenuhi kewajibannya dalam merawat keberagaman.
Bukan toleransi yang dibatasi sekadar untuk menghindari konflik, melainkan dengan cinta yang tak berbatas terhadap kemanusiaan terutama kaum minoritas, seperti penganut Ahmadiyah dan Syiah yang jumlahnya mencapai 20.000 di Wonosobo.
Kholiq masih mempunyai mimpi selain menjaga kerukunan, kondisi keamanan harus dipertahankan bersama oleh masyarakat. Dia mengkhawatirkan adanya gesekan keamanan setelah dia tidak menjabat sebagai pimpinan daerah.
Penghargaan yang diterima Wonosobo sebagai daerah ramah terhadap kaum minoritas tak bisa dipisahkan dari campur tangan Kholiq Arif. Bupati muda ini dinilai melindungi penganut Ahmadiyah dan Syiah yang menjadi kaum minoritas.
Mantan wartawan ini menjadi penjaga gawang keharmonisan penganut lintas agama dalam setiap kebijakan selama menjadi kepala daerah.
Pertengahan 2014, Kholiq juga menerima penghargaan harmonisasi umat beragama dari Jaringan Antar Iman Indonesia (JAII), sebagai tokoh pluralisme.
Koordinator Lingkar Studi Agama dan Sosial Wonosobo, Haqi El Ansyari memandang tingkat toleransi beragama di Wonosobo membaik. Aktivis Wahid Institut ini berpendapat sejauh ini peran aktif pemerintah daerah menjadi salah satu kunci menjaga harmonisasi agama.
Menurutnya, sekitar tujuh tahun ini dia bersama tokoh muda NU, seperti Banser dan Ansor bersama-sama saling menjaga tempat ibadah di Wonosobo saat digelar peringatan hari besar agama.
Dia mengatakan, di Desa Buntu, Kecamatan Kejajar, setiap pembangunan masjid pemuda Kristen ikut bergotong-royong membantu, begitu pula sebaliknya. Setiap ada hajatan desa juga iuran bersama dan pihaknya juga ikut yasinan dan pengajian yang digelar oleh umat Islam. Haqi menyebut Kholiq adalah bupati guyub rukun bagi kaum minoritas. (Edy Purnomo-71) sumber: http://berita.suaramerdeka.com/smcetak/kholiq-bupati-guyub-perawat-keberagaman/