"Janganlah kebencian sesuatu kaum mendorong kamu bertindak tidak adil. Berlakulah adil; itu lebih dekat kepada takwa.”

(Al-Maidah ayat 8).

Selasa, 11 Desember 2012

Wonosobo: Sabtu, 08/12/12 pukul 09:00 WIB Jemaat Ahmadiyah wilayah Jawa Tengah Bagian Barat dan wartawan MTA (Muslim Televion Ahmadiyah) telah mengadakan rabtah/silaturahmi kepada Drs. H. Abdul Kholiq Arif, M.Si, Bupati kabupaten Wonosobo. Rombongan itu terdiri dari para pengurus, muballighin, Bilal Ahmad Bonyan (wartawan MTA) dan Lili (Khudam/pemuda Ahmadi). 
Jemaat Ahmadiyah pun diterima dengan baik oleh Bupati di pendopo.
Sajid Ahmad Sutikno segera mengawali pembicaraan dan menyampaikan maksud kehadirannya, yaitu silaturahmi (audiensi) dan akan wawancara seputar kerukunan umat beragama di Wonosobo oleh jurnalis TV Muslim. Kemudian, masing-masing memperkenalkan diri. Bupati pun mengucapkan selamat dating dan terimakasih atas silaturahminya. Selain itu,  Jemaat Ahmadiyah juga berkesempatan menyampaikan ta’aruf seputar Ahmadiyah yang akhir-akhir itu diberitakan secara negatip di banyak media. Bupati selama ini sedikit banyak sudah mengenal Ahmadiyah, dan dirinya mengakui eksistensi Jemaat Ahmadiyah di Wonosobo serta bisa hidup rukun dengan kelompok lainnya. Ahmadiyah menurutnya adalah organisasi keagamaan yang terbuka dan tidak eklusif.
Dalam kesempatan itu, bupati yang ramah pada setiap orang itu berharap agar Jemaat Ahmadiyah mampu menjaga dan merawat kondusifitas didaerahnya.
Bupati yang mantan wartawan dan lulusan pesantren yang dikenal sebagai seorang Pluralis ini mampu merawat kerukunan masyarakatnya, serta memberikan pengayoman bagi kaum minoritas. Ia menambahkan, bahwa di Wonosobo sering diadakan pertemuan lintas agama dan berkeyakinan sebagai ajang silaturahmi dan komunikasi.
Bupati berpandangan, selama suatu kelompok itu masih bersyahadat “asyhadu an laa ilaaha illallaah wa asyhadu anna Muhammadan rasuulullah", ya dia berhak klaim diri bagian dari Islam. Begitu juga dengan Ahmadiyah berhak klaim demikian,  jika syahadat dan rukun Islamnya sama dengan umat Islam lainnya. Kan itu hanya persoalan penafsiran saja? Selanjutnya beliau menyampaikan, jika masing-masing kelompok bisa berkomunikasi dengan baik, maka terbangunlah kerukunan dan toleransi.
Setelah beberapa saat kemudian, Bilal Ahmad, jurnalis TV Muslim mulai mengadakan wawancara kepada Bupati Wonosobo.
Wawancara seputar sikap pluralis dan keharmonisan masyarakat Wonosobo, potensi alam, budaya, hingga kearifan local lainnya, dll. Selanjutnya mubaligh wilayah pun menyerahkan cindera mata berupa Alquran (The Holy Quran) dengan terjemah dan tafsir singkat Jemaat Ahmadiyah berbahasa Indonesia. Bupati dengan senang hati menerimanya. Sebelum berpamitan, kita sempat menyampaikan kepada Bupati, bahwa hanya dengan MTA inilah kami mampu berbuat untuk Wonosobo, semoga bisa membantu meningkatkan perekonomian dengan hadirkan wisatawan asing setelah melihat tayangan Wonosobo yang indah melalui MTA internasional.
Pertemuan lebih dari 2 jam itu membawa kesan yang mendalam bagi Jemaat Ahmadiyah dan MTA, karena sikap ramah, terbuka, rendah hati, serta sederhana yang ditunjukan Bupati [].

Selasa, 11 Desember 2012 | 14:20 WIB 6.000 Warga Ahmadiyah Hidup Tenang di Wonosobo Besar Kecil Normal TEMPO.CO, Jakarta - Gesekan antar-umat beragama rawan terjadi di sejumlah wilayah di Tanah Air. Di Nusa Tenggara Barat dan Bogor, misalnya, sejumlah penganut Ahmadiyah diusir dari wilayah mereka. Begitu pula yang terjadi di Sampang, Madura, ketika penganut Sunni mengusir warga Syiah. Namun di Wonosobo, Jawa Tengah, masyarakat yang memeluk berbagai macam keyakinan bisa hidup berdampingan. Bupati Wonosobo, Abdul Kholiq Arif, menyilakan semua umat beragama untuk melakukan ibadah menurut keyakinannya. “Nabi saja menghormati kaum Yahudi. Saya pun harus berperilaku sewajarnya terhadap umat yang tak seiman,” kata Bupati Kholiq yang terpilih menjadi kepala daerah pilihan Tempo tahun 2012. Menurut dia, sebagai warga negara, kelompok minoritas sama-sama membayar pajak. Karena itu, ia menegaskan pemerintah bertanggung jawab dalam memberikan rasa aman bagi semua warga pada saat mereka beribadah, tak terkecuali penganut Ahmadiyah. Di Wonosobo, kota yang membentang di lereng Gunung Sumbing dan Gunung Sindoro, terdapat setidaknya 6.000 penganut Ahmadiyah. Mubaligh jemaah Ahmadiyah, Sajid Ahmad Sutikno, mengatakan ketegasan Bupati membuat mereka aman. “Kami tidak punya masalah di sini,” kata dia. Begitu pula dengan penganut Konghucu, Tao, dan Buddha. Mereka merayakan hari besar agama tanpa rasa takut. Selain memberikan rasa aman pada saat menjalankan ibadah, pemerintah kabupaten memudahkan umat beragama yang hendak mendirikan tempat ibadah. Tentunya dengan melibatkan Forum Kerukunan Umat Beragama, wadah dialog antar-iman kota itu. Warga suku Tionghoa, Imam Darmadi, mengatakan, toleransi beragama di kotanya tinggi. “Sejumlah kiai dan habib kerap menghadiri undangan kami di kelenteng ini,” kata Imam. Membangun kerukunan antar-umat beragama tentu bukan pekerjaan mudah. Bupati Kholiq menceritakan selama awal kepemimpinannya di 2004, berbagai masalah sosial muncul ke permukaan. Mulai dari tawuran antar-kampung, kerusuhan, hingga angka kriminalitas cukup tinggi pada hingga 2010. Pada periode ini, kebakaran hebat juga menghanguskan pasar induk Wonosobo. Pencuri dibakar, perkelahian terjadi, lalu toko-toko tutup lebih awal. Untuk mengatasi persoalan kemanan ini, Sang Bupati merangkul para preman. “Mereka tidak boleh dibuang, kecuali melanggar hak orang lain,” ujarnya. Kholiq punya cara unik. Ia melibatkan para preman dalam kegiatan keagaman juga tradisi macapatan-tembang tradisional Jawa. Ia juga menggandeng Komando Distrik Militer untuk memberikan terapi kepada para jawara itu.